Sabtu, 08 Januari 2011

Para Perempuan Islam Di Kamboja Keluar Dari Sekolah Negeri

 

 

Jumlah perempuan Islam di Kamboja yang keluar dari sekolah negeri,  kian meningkat. Pasalnya mereka tidak merasa bebas menjalankan agamanya,  termasuk menggunakan jilbab. Padahal hal itu  tidak dilarang oleh hukum negeri itu.

Tapi, kelompok Pembangunan Komunitas Islam Kamboja mengatakan, sebagian guru melarang pasa siswinya untuk memakai jilbab dan tidak memberikan waktu untuk sholat.

Khortieth Him melaporkan dari Phnom Penh, dan laporannya disampaikan Sri Lestari.

“Kadang-kadang saya pakai ‘hijab’ atau jilbab tapi kadang-kadang tidak. Karena saya takut dengan reaksi orang-orang. Ada beberapa guru yang membolehkan saya pakai kerudung tapi yang lainnya tidak. Saya ingin sekolah saya mengizinkan saya pakai kerudung dan memberikan waktu untuk sholat.

Itulah Afiny, siswi kelas 1 SMU yang beragama Islam, di daerah perkotaan Phnom Penh. Baru-baru ini dia keluar dari sebuah sekolah negeri dan kini ikut kelas agama.
Sufur, siswi kelas 1 SMP mengatakan, juga bakal berhenti sekolah di akhir tahun ini,karena tidak boleh menggunakan  jilbab di dalam kelas.

“Saya tidak bisa meninggalkan agama saya. Islam sudah menjadi bagian yang penting  hidup saya. Saya takut kalau saya bersalah sama  Allah.

Para perempuan Cham yang beragama Islam di Kamboja, telah lama mengalami diskriminasi dalam hal pendidikan. Pasalnya, keluarga-keluarga miskin lebih mementingkan pendidikan anak laki-lakinya ketimbang pendidikan anak  perempuan mereka.

Rakiyah, ibunda  Afiny mengatakan, akan kembali menyekolahkan anaknya,  kalau dia bebas menjalankan agamanya.

“Saya ingin sekali anak saya mendapatkan pekerjaan yang bagus, tapi saya khawatir dengan agama saya. Kalau anak saya tidak bisa menutupi kepalanya atau sholat di sekolah, saya tidak akan izinkan dia sekolah disana.

Rakiyah menuturkan, orang-orang di sekolah anaknya meremehkannya karena memakai jilbab.  Namun ia menambahkan, anak laki-lakinya tak mengalami masalah seperti itu.

“Anak laki-laki saya tidak perlu menutup kepala ataupun tubuhnya, jadi tidak masalah. Sebagian besar masyarakat disini  punya pandangan yang sama seperti saya. Kami lebih mementingkan pendidikan anak laki-laki kami ketimbang pendidikan anak perempuan kami.

Mariyah,  guru agama Islam di Phnom Penh kecewa karena masyarakat berpandangan seperti itu.

Dia ingin para siswinya mendapatkan pendidikan di sekolah.

“Saya ingin semua siswa-siswi saya mendapatkan pendidikan agama dan juga pendidikan di sekolah negeri. Supaya mereka bisa bertahan hidup dalam dunia yang modern ini. Mereka tidak cukup mendapatkan pendidikan dalam satu bidang saja.“
Memang sulit sekali menemukan perempuan Islam yang lulus dari universitas. Sebagian bahkan tidak bisa membaca ataupun menulis dalam bahasa Khmer, bahasa resmi Kamboja.

Azimah adalah pengecualian karena sudah mendapatkan pendidikan yang tinggi. Namun dia menceritakan, selama di universitas kerap mengalami  kesulitan.

“Keluarga saya miskin sekali waktu saya masih mahasiswa. Banyak yang meremehkan  saya. Selain itu susah sekali sholat dan saya tidak memakai hijab atau jilbab.

Sebagian besar umat Islam di Kamboja adalah petani dan nelayan. Jadi mereka miskin sekali dan tidak bisa menyekolahkan anak-anak mereka sampai tingkat yang tinggi.
Ahmad Yahya adalah Presiden Kelompok Pembangunan Komunitas Islam Kamboja dan anggota parlemen negeri.

Menurut dia, tidak ada hukum yang melarang pemakaian hijab atau kerudung di sekolah. Ahmad Yahya tengah berupaya membujuk para orang tua,  supaya mengizinkan anak-anak perempuan mereka belajar di SMU umum maupun sekolah Islam.

“Kami meminta saudara-saudara kami se-iman untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah negeri untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya. Semenetara itu, harus mendorong anak-anaknya untuk menjadi umat Islam yang baik.

Di akhir pekan atau malam hari,  mereka harus mendorong anak-anak itu untuk belajar agama, supaya tahu soal pengetahuan di dunia ini dan pengetahuan di akhirat.
Afiny dan Sufur, ingin tetap bisa sekolah. Syaratnya, agama dan keyakinan mereka harus dihargai.




Terakhir Diperbaharui  [9 Januari 2011] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar