Senin, 27 Desember 2010

Figur Ulama Besar

KIAINYA PARA KIAI TERKEMUKA DI INDONESIA 
Oleh Ahmad Rofi’ Usmani
Serang, Banten, Ahad 2 September 2007.
Selepas menginap semalam di Wisma Puspitek, Serpong, saya dan istri bersama tiga saudara ipar, pada siang hari itu meluncur ke Desa Ciloang, Serang. Tujuan kami adalah untuk bersilaturahmi dengan Mas Gola Gong yang telah mendirikan Pustakaloka “Rumah Dunia” bersama beberapa temannya: Tias Tatanka, Rys Revolta (alm.), dan Toto ST Radik (lihat websitenya: www.rumahdunia.net). Ketika menjelang berpamitan, Mas Gong bercerita, salah satu ruang di pustakaloka tersebut sedang disiapkan sebagai ruang khusus yang berkaitan dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani: seorang ulama besar yang bertaraf internasional asal Serang, Banten. Mendengar cerita Mas Gong tersebut, segera dalam benak muncul ide untuk mencari tahu lebih jauh tentang ulama yang namanya mampu tinggi menjulang di kawasan Timur Tengah ini.
Ulama terkemuka asal Indonesia yang satu ini ternyata lahir di Tanara, sekitar 25 kilometer arah utara Kota Serang, Banten, pada 1230 H/1815 M. Ayahandanya, ‘Umar bin ‘Arabi, adalah seorang penghulu di tempat kelahirannya. Sedangkan ibundanya bernama Zubaidah. Jika dirunut, nenek moyang ulama tersebut akan sampai kepada Syarif Hidayatullah Cirebon dan Maulana Hasanuddin dari Banten. Seperti kebiasaan keluarga santri ketika itu, mula-mula ia belajar pengetahuan dasar mengenai Islam di bawah bimbingan ayahandanya sendiri. Setelah dirasa cukup, kemudian ia berguru kepada Kiai Sahal, Banten. Perjalanannya menapaki dunia ilmu pengetahuan ini mengantarkannya ke Purwakarta, Jawa Barat. Di kota ini ia belajar kepada seorang ulama terkenal ketika itu, Kiai Yusuf.
Dalam usia 15 tahun, Nawawi muda berangkat ke Tanah Suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan menetap di sana selama tiga tahun. Selama itu ia belajar di Makkah kepada sejumlah guru. Antara lain Syaikh Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyathi, dan Syaikh Ahmad bin Zaini Dakhlan Al-Makki. Guru terakhir tersebut, menurut saya, sangat besar pengaruhnya atas diri Nawawi. Mengapa demikian?
Seperti diketahui, Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan Al-Makki adalah seorang ulama terkemuka Arab Saudi kala itu. Ulama yang satu ini lahir di Makkah pada 1232 H/1816 M. Seusai menimba ilmu di kota kelahirannya, ia lantas menjadi mufti Mazhab Syafi‘i, merangkap menjadi Syaikh Al-Haram, “pangkat” ulama tertinggi yang mengajar di Masjid Al-Haram yang diangkat oleh Syaikh Al-Islam yang berkedudukan di Istanbul, Turki. Dalam kedudukan seperti itu, dia bertugas memberi legitimasi keagamaan terhadap keputusan-keputusan yang khususnya berkenaan dengan perdagangan budak, pengharaman beberapa bentuk kegiatan, membatalkan bid‘ah dan kebiasaan-kebiasaan buruk, dan mengeluarkan fatwa-fatwa berkenaan dengan perkembangan-perkembangan baru.
Tidak hanya itu. Ulama besar tersebut juga menaruh perhatian besar terhadap dunia tulis menulis. Sehingga lewat perhatiannya tersebut, terbit sejumlah karya tulis dalam berbagai bidang ilmu keagamaan Islam, teologi, sejarah, fikih, hadis, bahasa Arab, tafsir, sirah Nabi, dan sebagainya. Antara lain Khulâshah Al-Kalâm fi Umarâ’ Al-Balad Al-Haram, tentang sejarah Hijaz terutama pada abad ke-12 H/18 M dan 13/19 M, Al-Sîrah Al-Nabawiyyah, tentang biografi Nabi Muhammad Saw., Al-Futuhât Al-Islâmiyyah, Al-Fath Al-Mubîn fi Fadhâ’il Al-Khulafâ’ Al-Râsyidîn wa Ahl Al-Bait Al-Thâhirîn, dan sebagainya.
Ketika kondisi Makkah kala itu, sekitar 1299 H/1881 M, kurang aman, ulama yang sebagian besar karya-karyanya diterbitkan di Kairo, Mesir ini lalu pindah Madinah. Dan, ia menetap di Kota Nabi itu sampai ia berpulang ke hadirat Allah setahun kemudian
Menimba ilmu kepada seorang ulama besar tentu merupakan suatu kesempatan yang senantiasa diharapkan bagi para penuntut ilmu di Kota Kota Suci kala itu, termasuk Nawawi muda tentunya, walau sang guru lebih muda setahun ketimbang dirinya. Apalagi tradisi “ijazah” (menimba ilmu dengan bertatap langsung dengan seorang guru yang berhak memberikan pengukuhan atas kemampuan ilmiah si murid) kala itu masih berkembang luas di kawasan Timur Tengah. Dan, seperti diketahui, subyek pengajaran yang berlangsung di halaqah-halaqah ilmiah di Masjid Al-Haram kala itu umumnya berkenaan dengan ilmu-ilmu keagamaan Islam dan bahasa Arab. Para penuntut ilmu di halaqah-halaqah Masjid Al-Haram tersebut tidak hanya terbatas pada warga Hijaz. Tapi, banyak di antaranya adalah mereka yang datang dari pelbagai penjuru Dunia Islam.
Selepas menimba ilmu kepada Syeikh Ahmad bin Zaini Dakhlan Al-Makki, Al-Nawawi kemudian menapakkan kakinya ke Kota Nabi, Madinah. Di kota terakhir ini ia menimba ilmu Syaikh Muhammad Khathib Al-Hambali. Lalu, karena belum merasa puas dengan menimba ilmu di kedua kota itu, ia pun berangkat ke Mesir dan Suriah untuk memperdalam ilmu kedua negara itu.
Selepas tiga tahun berkelana untuk menimba ilmu, Nawawi lantas kembali ke tanah air. Namun, hasratnya yang besar untuk belajar mendorongnya balik ke Tanah Suci. Di Tanah Suci ia mengembangkan ilmunya dengan menelaah dan mengajar sampai menghadap Sang Pencipta pada 1315 H/1897 M dan dimakamkan di Makam Ma‘la, berdekatan dengan makam Asma’ binti Abu Bakar Al-Shiddiq dan Ibn Hajar Al-Haitami, seorang ahli hukum Islam terkemuka asal Mesir yang menganut Mazhab Syafi‘i. Tentang kegiatannya selama di Tanah Suci, C. Snouck Hurgronye yang sempat bertemu dengannya, mencatat dalam karyanya Mekka in the latter part of the Nineteenth Century:
“Selama 30 tahun ia terus menerus giat menimba ilmu pengetahuan Islam di Makkah, di samping membantu kelancaran belajar orang-orang Jawa di sana. Pertama-tama ia belajar di bawah bimbingan sejumlah ulama generasi yang lalu, seperti Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, dan lain-lain. Tetapi, gurunya yang sebenarnya adalah orang-orang Mesir: Yusuf Sumbulaweni, Nahrawi, dan Abdulhamid Daghistani, yang meninggal beberapa tahun yang lalu. Ia belajar di bawah bimbingan Daghistani bersama sejumlah ulama lain, sampai menjelang wafatnya Daghistani. Dulu, setiap waktu luang, ia mengajar. Tetapi 15 tahun terakhir, profesinya sebagai pengarang tidak memberinya banyak waktu untuk mengajar. Setiap hari, antara pukul setengah delapan pagi sampai sekitar pukul dua belas siang, ia memberikan tiga kali pengajian…“
Sebagai pengarang, ternyata Syaikh Nawawi Al-Bantani cukup produktif seperti halnya Syeikh Ahmad bin Zaini Dakhlan Al-Makki. Karya-karyanya meliputi berbagai aspek pengetahuan agama Islam. Sebagian besar karyanya merupakan uraian lebih mendalam atas karya-karya para ulama sebelumnya. Memang, demikianlah corak karya tulis para ulama masa itu. Karya mereka lebih banyak berbentuk ulasan terhadap suatu karya ulama sebelum mereka, ketimbang karya sendiri yang berupaya menguak persoalan baru. Di antara karyanya adalah Tafsir Marah Labîb (1298 H/1880 M), Fath Al-Mujîb (1299 H/1881 M), dan Lubâb Al-Bayân (1302 H/1884 M). Produktifitasnya sebagai mengarang membuat Syekh Nawawi Al-Bantani menjadi terkenal. Ketenarannya tidak hanya sebatas kalangan kaum Muslim “Jawa” saja. Tapi, meluas di Dunia Arab. Khususnya negara-negara yang kebanyakan penduduknya menganut Mazhab Syafi‘i. Untuk ukuran masa itu, pencapaiannya cukup luar biasa. Tidak aneh bila ia mendapat gelar “Sayyid Ulamâ’ Al-Hijâz”, yang berarti “Tokoh Ulama Hijaz”.
Anda memiliki tulisan, karya tulis, dan khazanah ilmiah lainnya yang berkaitan dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani, seorang ulama yang telah mengharumkan nama Indonesia di kawasan Timur Tengah ini? Bila ya, kiranya Anda berkenan mengirimkan fotokopinya ke “Rumah Dunia” tersebut. Tentu, Mas Gong dan teman-teman akan lebih senang dan berterimakasih jika yang Anda serahkan merupakan karya-karya asli, bukan fotokopi. Jazâkumullâh Ahsanal Jazâ’! **
*) Ahmad Rofi’ Usmani, pengagum Syeikh Nawawi al-Bantani dari Bandung
*) Banten Raya Post –Selasa 25 September 2007

Anak-Anak Ajaib Palestina

Oleh: EH Ismail
Dari Jalur Gaza , Palestina
anak-gaza-1Delapan remaja berusia 15-18 tahun D sedang duduk melingkar saat saya berkunjung ke Masjid Al Abror di Rafah, wilayah Gaza, Palestina.
Tangan mereka memegang kitab suci Alquran. Ada Alquran yang berukuran kecil, sedang, dan ada pula yang besar.
Sepandangan mata, mereka membaca Alquran yang ada di tangan. Sekejap kemudian, Alquran ditutup dan mulutnya mengulangi ayat-ayat yang baru saja dibaca dengan mata terpejam. Gerakan itu dilakukan berulangulang. Di samping mereka, ada lingkaran anak-anak lain yang melakukan hal sama. Di hadapan para remaja ini, duduk Hasan Ali Al Azajy (47 tahun). Di depan Hasan, ada Alquran besar terbuka. Alquran dalam posisi setengah berdiri di atas meja kecil.
Di sisi lain masjid, sejumlah anak duduk berbaris memanjang berjarak satu meter, seperti antrean. Di hadapan mereka, ada seorang ustaz yang meletakkan Alquran sama seperti yang dilakukan Hasan. Hasan dan juga ustaz lainnya memanggil satu per satu anak itu ke hadapan mereka. Anak-anak pun maju tanpa Alquran lagi di tangan. Di hadapan para ustaz, mulailah mereka membaca ayat-ayat Alquran yang baru saja dihapalnya.
Pemandangan seperti di Masjid Al Abror, saya jumpai setiap hari di sejumlah masjid di Rafah. Kebetulan, saat ini adalah musim liburan sekolah. Kebanyakan anak dan remaja Gaza berkumpul di masjid selepas shalat Subuh sampai waktu Zuhur untuk mengikuti sekolah menghapal Alquran yang diadakan para pengurus masjid. Saya sudah mendengar berita tentang sekolah ini sebelum bertugas ke Gaza.
Mulanya, saya tak percaya banyak generasi belia Gaza mampu menghafal seluruh ayat Alquran dalam waktu dua bulan. Tapi, sekarang saya menyaksikan sendiri sejumlah anak dalam waktu tiga jam bi sa hafal satu juz Alquran! Pa da hal, dia hanya membaca se kelebat dan kemudian meng ulanginya di hadapan sang ustaz. Sungguh luar biasa.
Hal yang membuat saya le bih terperangah adalah kon disi lingkungan mereka meng hafal Alquran yang jauh dari kata sepi dan sunyi. Masjid Al Abror terletak di tengah-te ngah pasar yang ramai dengan aktivitas dagang penduduk
Rafah. Saat saya datang, bunyi mesin bor menderu di sekitar mereka. Masjid yang hancur karena serangan roket Israel pada dini hari 15 Januari 2009 itu sedang direnovasi.
Keramik-keramik lantai masjid belum terpasang kembali. Atap pembatas antara lantai satu dan lantai dua masjid juga masih menganga.
Lubang bekas hantaman roket dan kipas angin yang menggelayut di atap masih terlihat jelas. Anak-anak itu harus belajar beralas tikar.
“Walaupun sedang renovasi, kami tak ingin anak-anak kehilangan waktu untuk belajar dan menghafal Alquran.
Biar saja sementara pakai tikar dan masih berpasir,” ujar Syekh Abu Mansoor, imam masjid Al Abror.
Di sebelah selatan Masjid Al Abror, saya mampir di Masjid Ibadurrahman. Masjid dua lantai ini memiliki bangun an yang jauh dari kesan me gah. Di lantai pertama, pe man dangan sama seperti di Masjid Al Abror kembali saya temui. Namun, jumlah anak dan remaja yang tengah meng hafal Alquran lebih banyak. Di lantai dua masjid, kerumunan anak-anak dan remaja putri juga tengah mengikuti sekolah menghafal Alquran.
Saat mencoba melongok ke lantai dua masjid, saya berbi cara dengan sejumlah ustazah guna mencari tahu rahasia kemampuan murid-murid me reka dalam menghafal Alquran secara cepat. Seorang usta zah menerangkan, mereka
bersyukur kepada Allah yang telah melahirkan mereka di negeri yang mempunyai bahasa Arab sebagai bahasa ibunya. “Bahasa Arab, bahasa Alquran, adalah bahasa kami.
Kami bersyukur atas berkah ini. Sekarang, kami ingin menjadi bagian dalam upaya memelihara kemurnian dan mukjizat Alquran,” papar ustazah yang tak saya ketahui wajahnya itu.
Tengah asyik mendengar penjelasan sang ustazah, seorang gadis mungil berlari sambil membawa secarik kertas ke hadapan saya. Di atas kertas buku yang sobek itu, tertera barisan kata-kata dalam bahasa Inggris. Si gadis pun membacakan tulisannya di hadapan saya. We are very happy to see you in our country Palestine. We are reading our Holly Book (Quran). Certainly Quran is protected in our hearts, chests, minds, and tongues.
Help us to be the best Muslims in the world.
Saya ingin memeluk gadis itu kalau tak sadar banyak wanita bercadar di sekeliling saya. Saya pun hanya mem belai kepala sang gadis dan membisikkan kata, “Insya Allah, I will help you my little beautiful sister.” Semuanya pun tertawa riang.
Gadis itu bernama Aya Saad Abu Jazair. Usianya baru 13 tahun dan dia adalah anak terpandai di sekolah dalam menghafal Alquran di Masjid Ibadurrahman. Sambil ber gurau, sang ustazah berkata, “Saya yakin, hafalan Alquran nya lebih baik dari Anda, saudaraku dari Indonesia.”
Saya pun mencoba memastikan tebakan sang ustazah. Saya ambil Alquran kecil dalam tas dan membaca sembarang ayat yang saya buka.
Begitu satu ayat saya baca, Aya Saad pun melanjutkan ayat selanjutnya tanpa kesalahan sama sekali! Saya coba lagi dengan menyebutkan nama surah Almukminuun, lagilagi Aya Saad melafalkan ayatayat dalam surah itu dengan sempurna. Kami pun tertawa kembali.
Pimpinan Yayasan Darul Quran dan Sunah Rafah, Soleh Ibnu Mansoor (Abu Hakim), mengatakan, saat ini lebih dari 40 ribu anak-anak dan remaja Gaza hafal Alquran. Abu Hakim meyakini, menghafal Alquran bukanlah soal ada atau tidak ada waktu. Bukan pula soal bisa atau tidak bisa bahasa Arab. Kun cinya, semangat dan ke imanan yang menjadi bahan bakar utama. “Anda lihat sen diri, tidak ada yang luar biasa yang kami lakukan un tuk meng hafal Alquran. Anak-anak hanya duduk membaca, kemudian mengulanginya dengan kesung guhan hati,” papar Abu Hakim.
Dia melanjutkan, tertanam nya keyakinan dalam dada anak-anak Gaza—hanya Al quran yang bisa menyelamat kan mereka dari semua co baan hidup di dunia dan mengantarkan mereka dalam kehidupan bahagia di akhirat kelak—merupakan faktor utama cepatnya kemampuan menghafal Alquran. “Kami ju ga yakin, Alquran wasilah kami untuk menjadi Muslim yang tangguh dan terus menegak kan Islam di dunia ini,” ucap Abu Hakim. ■ ed: rahmad bh
(Sumber Harian Republika Kamis, 22 Juli 2010)